Archive for April, 2011

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (Pad) Melalui Pengembangan Potensi Obyek Wisata Pantai Pangandaran Di Kabupaten Ciamis Jawa Barat (IS-6)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelaksanaan pembangunan daerah pada dasarnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah dan menserasikan laju pertumbuhan antar daerah di Indonesia. Dalam pengembangan daerah sudah barang tentu dibutuhkan peningkatan pendayagunaan, potensi daerah secara optimal. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam Undang-undang ini disebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Tahun
1945,pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi yang diberikan kepada daerah Kabupaten dan Kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan pemanfaatan serta sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam mengurus
dan mengatur rumah tangga sendiri, sudah barang tentu daerah memerlukan biaya
yang cukup besar guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Oleh karena itu daerah diberi hak dan wewenang untuk menggali sumber- sumber pendapatan daerahnya sendiri. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur sumber-sumber pendapatan daerah, yang terdiri atas:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu terdiri dari:
1) Hasil pajak daerah
2) Hasil retribusi daerah
3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;
4) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
( Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004)

PAD yang merupakan gambaran potensi keuangan daerah pada umumnya mengandalkan unsur pajak daerah dan retribusi daerah. Berkaitan dengan pendapatan asli daerah dari sektor retribusi, maka daerah dapat menggali potensi sumber daya alam yang berupa obyek wisata. Pemerintah menyadari bahwa sektor pariwisata bukanlah merupakan sektor penyumbang terbesar dalam pendapatan daerah, tetapi berpotensi dalam meningkatkan PAD. Untunglah di Indonesia ini masih mempunyai potensi alam dan seni budaya yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan oleh daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.

Dalam era globalisasi sekarang ini, bidang pariwisata merupakan salah satu kegiatan yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional. Sektor ini dicanangkan selain sebagai salah satu sumber penghasil devisa yang cukup andal, juga merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dan mendorong perkembangan investasi. Untuk mengembangkan sektor ini pemerintah berusaha keras membuat rencana dan berbagaikebijakan yang mendukung kearah kemajuan sektor ini. Salah satu kebijakan tersebut adalah menggali, menginventarisir dan mengembangkan obyek-obyek wisata yang ada sebagai daya tarik utama bagi wisatawan.

Pariwisata mempunyai peranan penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai penghasil devisa, meratakan dan meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan, memperkokoh persatuan, dan kesatuan, serta mengenal budaya bangsa. Seperti yang telah diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999, bahwa mengembangkan pariwisata, melalui pendekatan sistem yang utuh dan terpadu bersifat interdisipliner dan partisipatoris dengan menggunakan kriteria ekonomi, teknis, argonomis, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam dan tidak merusak lingkungan. (TAP MPR No.IV/MPR/1999)

Dalam pembangunan kepariwisataan tetap dijaga terpeliharanya kepribadian bangsa dan kelestarian serta mutu lingkungan hidup. Pembangunan kepariwisataan dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan sektor-sektor pembangunan lainnya serta antara berbagai usaha kepariwisataan yang kecil, menengah dan besar agar saling menunjang.
Kabupaten Ciamis mempunyai potensi di bidang pariwisata yang cukup besar untuk dikembangkan, dengan terdapatnya berbagai obyek wisata, baik obyek wisata alam maupun obyek wisata buatan. Mengingat obyek wisata yang ada dan potensinya yang cukup pesat dimasa mendatang. Dari beberapa obyek wisata yang ada di Kabupaten Ciamis, obyek wisata pantai Pangandaran merupakan taman wisata yang memiliki berbagai keistimewaan seperti pantainya landai dengan air yang jernih serta jarak antara pasang dan surut relatif lama sehingga memungkinkan kita untuk
berenang dengan aman, terdapat pantai dengan hamparan pasir putih dan terdapat taman laut dengan ikan-ikan dan kehidupan laut yang mempesona. dengan pemandangan alamnya yang sangat indah. Obyek wisata pantai Pangandaran sangat diharapkan dapat memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap PAD Kabupaten Ciamis. Tetapi keberadaan obyek wisata pantai Pangandaran ini akan kurang berdaya guna apabila pemerintah daerah Kabupaten Ciamis sebagai pihak pengelola tidak berupaya untuk mengelolanya dengan baik. Dalam hal ini terutama faktor-faktor penunjang obyek wisata seperti daya tarik, sarana dan prasarana serta promosi.
Dari penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Melalui Pengembangan Potensi Obyek Wisata Pantai Pangandaran Di Kabupaten Ciamis-Jawa Barat.

Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download

Atau klik disini

April 5, 2011 at 9:33 am Tinggalkan komentar

Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Di Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan (IS-5)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Salah satu tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan. Begitu pentingnya keturunan dalam kehidupan keluarga maka keluarga yang tidak atau belum dikaruniai anak akan berusaha untuk mendapatkan keturunan. Pengangkatan anak merupakan salah satu peristiwa hukum didalam memperoleh keturunan.
Latar belakang dilakukan pengangkatan anak untuk mempertahankan keutuhan ikatan perkawinan dan untuk kemanusiaan dan untuk melestarikan keturunan.

Pengangkatan anak dilakukan karena adanya kekhawatiran akan terjadinya ketidak harmonisan suatu perkawinan dan suatu keluarga karena tidak adanya keturunan.
Tujuan pengangkatan anak adalah untuk meneruskan keturunan dan merupakan motivasi dan salah satu jalan keluar sebagai alterlatif yang positif serta manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak didalam pelukan keluarga, yang bertahun-tahun belum dikaruniai seorang anak. Dengan pengangkatan anak diharapkan agar ada yang memelihara dihari tuanya, dan
mengurusi harta kekayaannya sekaligus menjadi generasi penerusnya.

Di dalam sebuah keluarga yang harmonis dan lengkap, anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Anak pada hakekatnya merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan buah hati dari orang tuanya yang tiada ternilai harganya, dan menjadi generasi penerus orang tuanya.

Pada umumnya perkawinan tidak akan puas bilamana tidak mempunyai anak, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memperolehnya. Pengangkatan anak adalah salah satu usaha untuk memiliki anak, mengambil serta mengasuh anak hingga menjadi orang dewasa yang mandiri sehingga terjalinlah hubungan rumah tangga antara bapak dan ibu angkat disatu pihak dan anak angkat di lain pihak.

Pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan hukum, oleh karena itu mempunyai akibat hukum, salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status hukum pengangkatan anak, itu sendiri yang sering menimbulkan permasalahan di dalam keluarga.

Pengangkatan anak menurut hukum adat yang dilakukan di masyarakat Kedungwuni Kabupaten Pekalongan tidak ada suatu kesatuan cara untuk melaksanakannya, sehingga akibat hukum dari pengangkatan anak itupun berbeda-beda menurut hukum adat masing-masing daerah yang berlaku.

Pengangkatan anak secara umum dilakukan dengan motif yang berbeda- beda, antara lain dapat disebutkan: karena keiginanan untuk mempunyai anak, adanya harapan atau kepercayaan akan mendapatkan anak atau sebagai”Pancingan”, adanya keiginan memiliki anak lagi yang diharapkan dapat
menjadi teman bagi anak yang telah dimilikinya, sebagai rasa belas kasihan terhadap anak terlantar, dan juga terhadap anak yatim piatu
Pengangkatan anak dilakukan karena kekhawatiran akan terjalinnya keretakan hubungan yang telah dibinanya. Selain itu juga untuk mempertahankan keutuhan ikatan perkawinan dan untuk mendapatkan keturunan.

Pengangkatan anak di masyarakat Kedungwuni Kabupaten Pekalongan dilakukan dengan berbagai macam cara ada yang melalui lembaga pengadilan, berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam, namun sebagian besar dilakukan secara adat kebiasaan.

Pengangkatan anak di Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan sebagian besar mempunyai pendapat bahwa pengangkatan anak baru dianggap sah apabila dilaksanakan sesuai dengan adat isiadat yang telah berlaku.
Atas dasar uraian tersebut diatas, maka peneliti mengambil judul

”PENGANGKATAN ANAK MENURUT ADAT DI KECAMATAN KEDUNGWUNI KABUPATEN PEKALONGAN”

Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download

Atau klik disini

April 5, 2011 at 9:32 am Tinggalkan komentar

Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen Melalui Metode Latihan Terbimbing Dengan Media Teks Lagu Siswa Kelas X-7 SMA NEGERI 1 PEMALANG (PBI-6)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat yang sangat vital bagi manusia dalam berkomunikasi. Manusia berkomunikasi agar dapat saling belajar, berbagi pengalaman, dan dapat meningkatkan kemampuan intelektualnya. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi ada dua macam yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tulis tersebut muncul dalam segala aktivitas seperti pendidikan, keagamaan, perdagangan, politik, dan sebagainya.

Pengajaran keterampilan bahasa dan sastra Indonesia mencakupi keterampilan mendengarkan, keterampilan membaca, keterampilan berbicara, dan keterampilan menulis. Keempat keterampilan tersebut selalu berkait satu dengan yang lain. Di antara keterampilan tersebut keterampilan mendengarkan dan keterampilan membaca merupakan keterampilan reseptif, sedangkan keterampilan berbicara dan keterampilan menulis merupakan keterampilan produktif.

Suyatno (2004:6) menyatakan bahwa posisi bahasa Indonesia berada dalam dua tugas. Tugas pertama adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia tidak mengikat pemakainya untuk sesuai dengan kaidah dasar. Tugas kedua adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa negara berarti bahasa Indonesia harus digunakan sesuai
dengan kaidah, tertib, cermat, dan masuk akal. Bahasa Indonesia yang dipakai
harus lengkap dan baku. Tingkat kebakuannya diukur oleh aturan kebahasaan dan logika pemakaian. Dengan demikian pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak hanya mempelajari bahasa yang resmi, bahasa yang sesuai dengan tata bahasa dan kaidah-kaidah penggunaannya saja tetapi juga mempelajari bahasa dalam bentuk yang tidak resmi seperti dalam bahasa sastra.

Keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang harus diajarkan pada siswa. Keterampilan menulis mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan menulis merupakan syarat untuk berkecimpung dalam berbagai macam bidang atau kegiatan. Hal ini mengandung pengertian betapa pentingnya keterampilan dan kemampuan menulis dalam kehidupan sehari-hari.

Diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) oleh pemerintah menghendaki (1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa siswa dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan siswanya; (4) orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; (5) sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan siswa dan sumber
belajar yang tersedia; (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar
kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional (Depdiknas, 2005:1).

Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia aspek bersastra SMA kelas X untuk subaspek menulis menyebutkan bahwa siswa harus mampu mengungkapkan pengalaman diri sendiri dan orang lain ke dalam cerpen (Depdiknas, 2005:4). Untuk mencapai standar kompetensi di atas proses pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bukan sekadar pengajaran mengenai teori-teori sastra. Di samping memperoleh pengetahuan tentang teori-teorinya siswa pun dituntut untuk dapat mengungkapkan pikiran, gagasan, pendapat, dan perasaannya melalui sebuah karya sastra yang berupa cerpen.

Tulisan imajinatif yang merupakan tulisan kreatif, dalam hal ini dapat berupa puisi, cerpen, novelet, dan novel. Dalam kajian ini dipilih cerpen sebagai objek penelitian. Pemilihan cerpen karena cerpen tidak memerlukan waktu yang lama untuk membuatnya karena bentuknya yang lebih pendek daripada novel, begitu pun untuk membacanya, sehingga cerpen sering disebut bacaan yang dapat dibaca sekali duduk. Bahasa yang digunakan dalam cerpen pun menggunakan bahasa yang sederhana, lebih sederhana jika dibandingkan dengan bahasa dalam puisi yang mempunyai arti lebih kompleks, serta berupa pemadatan kata yang di dalamnya menceritakan gagasan, perasaan ataupun pengalaman penulisnya.

Keterampilan menulis cerpen bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan melalui uraian atau penjelasan semata-mata. Siswa tidak akan memperoleh keterampilan menulis hanya dengan duduk, mendengarkan penjelasan guru, dan
mencatat penjelasan guru. Keterampilan menulis cerpen dapat ditingkatkan
dengan melakukan kegiatan menulis cerpen secara terus-menerus sehingga akan mempengaruhi hasil dan prestasi siswa dalam menulis cerpen. Hasil dan prestasi dapat meningkat apabila ada perubahan sikap dan tingkah laku siswa baik pada aspek pengetahuan, keterampilan maupun psikomotor.

Tidak sedikit siswa yang mengalami hambatan dalam mengembangkan keterampilannya menulis cerpen. Hal ini juga dialami siswa kelas X-7 SMA Negeri 1 Pemalang, hambatan-hambatan tersebut yaitu daya imajinasi siswa masih kurang, diksi yang digunakan dalam menulis cerpen kurang bervariasi, kesulitan menentukan tema, dan kurang dapat mengembangkan ide. Proses belajar mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah umumnya berorientasi pada teori dan pengetahuan semata-mata sehingga keterampilan berbahasa khususnya keterampilan menulis kurang dapat perhatian. Ide, gagasan, pikiran, dan perasaan mereka berlalu begitu saja, tidak diungkapkan khususnya dalam bentuk karya sastra.
Keterampilan menulis cerpen yang diajarkan di sekolah-sekolah selama ini menggunakan metode konvensional. Peran guru amat dominan dalam proses pembelajaran. Siswa kurang aktif dan sering kali metode ini menimbulkan kebosanan bagi siswa dalam pembelajaran menulis cerpen sehingga karya yang dihasilkan siswa kurang maksimal. Cerpen yang dibuatnya kurang menarik karena bahasa yang digunakan monoton, dan pengembangan ide atau gagasan kurang bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari kesesuaian isi cerpen dengan tema,
pengembangan topik, dan diksi yang belum mendapat perhatian dari siswa.

Guru sebagai penyampai materi kepada siswa harus dapat menyampaikan materi yang akan dibahas dengan metode dan media yang tepat dan menarik. Hal tersebut akan berdampak pada keberhasilan siswa dalam mengikuti pembelajaran dan mengerjakan tugas yang diberikan guru.

Keprofesionalan seorang guru dituntut demi lancarnya proses belajar mengajar. Ada tiga persyaratan utama yang harus dimiliki oleh seorang guru agar menjadi guru yang baik, yaitu menguasai (1) bahan ajar (2) keterampilan pembelajaran, dan (3) evaluasi pembelajaran. Dalam penguasaan keterampilan pembelajaran guru dituntut untuk menggunakan berbagai strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran yang tepat dan dapat menarik perhatian siswa sehingga menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Pembelajaran menulis cerpen dalam penelitian ini menggunakan metode latihan terbimbing karena keterampilan menulis bukanlah semata-mata milik golongan orang yang berbakat menulis, melainkan dengan latihan yang sungguh- sungguh keterampilan itu dapat dimiliki oleh siapa saja. Keterampilan menulis merupakan proses belajar yang memerlukan ketekunan berlatih, semakin rajin berlatih, keterampilan menulis akan meningkat. Begitu juga dengan keterampilan menulis cerpen, untuk dapat menulisnya diperlukan usaha yang keras dan latihan terbimbing secara terus-menerus untuk menghasilkan cerpen yang baik. Peran guru sebagai motivator, fasilitator, sekaligus inspirator bagi siswa sangat diperlukan dalam hal ini yaitu memberikan latihan terbimbing kepada siswa
dalam menulis kreatif cerpen.

Media yang digunakan dalam pembelajaran menulis cerpen yaitu teks lagu. Teks lagu merupakan sebuah naskah yang berisi lirik lagu yang berisi rangkaian kata yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaan penyair. Pemilihan teks lagu sebagai media dalam pembelajaran menulis cerpen didasarkan pada alasan- alasan berikut: (1) pada usianya yang masih tergolong remaja kebanyakan siswa SMA menyukai lagu-lagu, sehingga dengan media ini diharapkan dapat menstimulus siswa untuk menghasilkan karya terbaiknya dan dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, (2) lagu merupakan sarana hiburan yang menyenangkan dan dapat menciptakan kepuasan, kebahagiaan dan keharuan bagi yang menikmatinya, (3) teks lagu berisi rangkaian kata indah yang mengisahkan sebuah cerita, baik mengenai kehidupan, pengalaman ataupun sebuah peristiwa, dengan teks lagu tersebut dapat diketahui alur dan temanya yang akan mempermudah siswa dalam menulis cerpen.

Media memegang peran penting dalam pembelajaran karena dengan adanya media siswa dapat menangkap penjelasan yang disampaikan guru dengan mudah, begitu juga dengan media yang digunakan dalam pembelajaran menulis cerpen dengan media teks lagu ini. Siswa diharapkan dapat meningkatkan kemampuannya menuangkan ide-ide atau pengalamannya ke dalam sebuah karya sastra yaitu cerita pendek dengan mudah dan dapat menghasilkan karya yang baik.

Beberapa penelitian mengenai keterampilan menulis cerpen telah banyak dilakukan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas tentang keterampilan menulis cerpen
telah banyak dilakukan, namun metode-metode dan media yang digunakan
berbeda-beda. Metode dan media yang telah digunakan antara lain karya wisata, pengalaman pribadi sebagai basis melalui pendekatan keterampilan proses dan pemodelan. Hal tersebut memberi kemungkinan untuk menemukan metode- metode yang lain untuk dijadikan penelitian lebih lanjut. Penelitian ini akan mencoba metode latihan terbimbing dengan media teks lagu untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menulis cerpen.

Keterampilan menulis cerpen melalui metode latihan terbimbing dengan media teks lagu diasumsikan dapat mengatasi permasalahan siswa dalam pembelajaran keterampilan menulis cerpen. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian tindakan kelas sekaligus sebagai bahan penyusunan skripsi dengan judul Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen melalui Metode Latihan Terbimbing dengan Media Teks Lagu Siswa Kelas X-7 SMA Negeri 1 Pemalang.

Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download

Atau klik disini

April 5, 2011 at 9:29 am Tinggalkan komentar

Male Feminis Dan Kontra Male Feminis Dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari (PBI-5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, yang mengandung keindahan. Karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dihanyati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat pembacanya. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat dan lingkungannya, ia tak bisa begitu saja melepaskan diri dari masyarakat lingkungannya.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang mengangkat persoalan perempuan dan menceritakan perjalanan hidup seorang perempuan (Srintil) dalam menggapai kehidupan yang diinginkannya. Selanjutnya, tokoh perempuan itu juga bertemu dengan banyak tokoh laki-laki yang mempunyai karakter yang berbeda-beda, karakter yang mendukung tokoh perempuan dan karakter yang menghambat kebahagiaan tokoh wanita..

Karya sastra, seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba “rutinitas” dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan kreativitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi “terbata-bata” untuk
berkomunikasi dengannya. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori untuk mengkaji karya sastra, termasuk karya sastra novel.
Novel merupakan sebuah “struktur organisme” yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan sulitnya pembaca menafsirkan sebuah novel, dan untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu upaya untuk menjelaskannya disertai bukti-bukti hasil kerja kajian yang dihasilkan.

Novel merupakan salah satu jenis karya sastra prosa yang mengungkapkan sesuatu secara luas. Berbagai kejadian di dalam kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita merupakan gejala kejiwaan.
Manfaat yang akan terasa dari hasil kajian itu adalah apabila pembaca (segera) membaca ulang karya sastra yang dikajinya. Dengan cara ini akan dirasakan adanya pembedaan: ditemukan sesuatu yang baru, yang terdapat dalam karya sastra itu sebagai akibat kekompleksitasan karya yang bersangkutan sehingga sesuatu yang dihadapi baru dapat ditentukan. Dengan demikian, pembaca akan lebih menikmati dan memahami cerita, tema, pesan-pesan, tokoh, gaya bahasa, dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya yang dikaji (Nurgiyantoro 1995: 32).

Dalam kesusastraan Indonesia modern banyak pengarang yang menghasilkan cerita fiksi, sebagai contoh dapat disebutkan di antaranya Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari, Para Priyayi karya Umar Kayam. Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG serta Roro Mendut karya J.B. Mangunwijaya. Kebanyakan inti cerita
dan karya-karya itu tentang etika Jawa dan persoalan wanita Jawa yang masih memegang teguh nilai-nilai dan pandangan hidup wanita Jawa.

Karya sastra yang dijadikan objek kajian penelitian ini adalah novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari karena novel tersebut menempatkan wanita sebagai tokoh utama meskipun masih dipengaruhi tokoh pria. Tokoh wanita dalam novel Ahmad Tohari adalah sosok wanita yang penuh dengan permasalahan yang harus dihadapi. Masalah cinta, rumah tangga, asal usul, dan kebahagiaan yang masih dihadapi dan harus dipecahkan oleh sang tokoh.

Lebih lanjut, Srintil ingin mempertahankan sesuatu yang menjadi haknya. Ia ingin berhenti menjadi ronggeng dan menjadi perempuan seutuhnya, menikah dan mempunyai anak. Srintil sebagai ronggeng harus melakukan pengorbanan, ia mengorbankan sebuah kesucian dalam acara Bukak-Klambu. Kartareja telah menyanyembarakan kesucian Srintil pada laki-laki yng bisa memenuhi syarat.

Pembaca menyukai novel-novel Ahmad Tohari karena kemenarikan ceritanya. Ahmad tohari sering mengangkat tema tentang kehidupan masyarakat lapisan bawah yang disajikan dengan gaya bahasa yang mampu menghidupkan suasana cerita dan mudah dipahami pembaca. Ahmad Tohari bisa melahirkan karya yang mengangkat kesukaran hidup kaum bawah karena pengalaman hidup yang sangat berkesan, terutama yang mengangkat tentang kemelaratan para tetangga, kebodohan, serta ketidakberdayaan mereka keberpihakan Ahmad Tohari terhadap wong cilik seakan menjadi obsesinya yang tidak pernah berkesudahan.

Pribadi-pribadi yang terwujud dalam diri tokoh-tokoh manusia Jawa dalam karya Ahmad Tohari merupakan cerminan dari kepribadiannya selaku pengarang dalam pergulatannya dengan pengalaman hidup. Ahmad Tohari memang tinggal dan dibesarkan di daerah Jawa, tepatnya di daerah Jati Lawang, Banyumas, sehingga wajar bila nilai kultur Jawa yang melatarbelakangi hidupnya sangat lekat dan kentara mewarnai hampir dalam semua karyanya.

Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk terdiri dari tiga episode yaitu episode pertama berjudul Ronggeng Dukuh Paruk, episode kedua diberi judul Lintang Kemukus Dini Hari, dan yang ketiga adalah Jantera Bianglala. Menurut pengarangnya, novel Ronggeng Dukuh Paruk sengaja dipersiapkan untuk menjadi trilogi, ketika menulis episode pertama, pengarang mengakui mengalami kebuntuan untuk menyelesaikan dalam sebuah trilogi sekaligus. Novel tersebut berkisah tentang dunia Ronggeng Dukuh Paruk. Tokoh-tokohnya adalah Srintil dan Rasus yang menginjak dewasa pada sekitar tahun 1965. Sekian tahun sebelumnya, Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan terbilang miskin. Namun, segenap warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan kehidupan. Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk. Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik Srintil pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng (Yudiono 2003: 17-
18).

Lebih jauh, novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari sepertinya ingin menunjukkan sisi lain dari kehidupan perempuan, sebuah fenomena yang jarang terjadi ketika sosok perempuan dengan tekad dan kegigihannya berusaha keluar dari jeratan nasib yang kurang memihaknya. Hal lain, novel ini banyak mengangkat tokoh laki-laki untuk secara bersama-sama memerangi suatu ketidakadilan, baik yang berasal dari sosok laki-laki maupun sosok perempuan itu sendiri. Laki-laki dan perempuan adalah sosok yang secara maknawi mereka sama, konstruksi sosial di masyarakatlah yang menyebabkan mereka diperlakukan berbeda.
Dalam waktu singkat, Srintil membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri. Srintil sebagai seorang ronggeng, harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapapun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal.

Selama ini perempuan dipandang sebagai sosok yang lemah. Banyak anggapan yang beredar di masyarakat tentang diri perempuan itu sendiri yang menyebabkan perempuan semakin terpinggirkan. Adanya anggapan bahwa sosok perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Laki-lakilah yang dianggap dominan yang berada di pusat. Perempuan hanya sebagai kanca wingking atau dalam istilah bahasa jawanya “swargo nunut neroko katut” (Fakih 2003: 12).

Srintil merupakan sosok wanita yang berparas cantik. Sejak usia sebelas tahun ia sudah menjadi Primadona karena menjadi ronggeng. Kecantikan Srintil banyak menrik perhatian orang terutama kaum laki-laki. Mereka rela mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk sekedar bertayub dan tidur dengan Srintil.

Perbedaan yang jelas antara konsep jenis kelamin (sex) telah melahirkan ketidakadilan, baik kaum laki-laki dan terutama perempuan. Disadari atau tidak, ketika gagasan feminis ini dilihat secara sekilas, sepertinya perempuanlah yang menjadi korban konsep-konsep gender tersebut. Laki-laki bisa menjadi feminis jika sikap dan tingkah laku mereka menunjukkan sikap menghargai dan menghormati perempuan. Namun, tatkala istilah male feminis dimunculkan, akan ada sebuh oposisi yang menyatakan perlawanan dari male feminis yang bisa disebut dengan istilah kontra male feminis. Sikap laki-laki yang kontra male feminis terlihat dari tingkah laku mereka yang tidak menghargai perempuan, bahkan cenderung semena-mena (Adian dalam Subono 2001: 26).

Dominasi tokoh laki-laki cukup mewarnai novel Ronggeng Dukuh Paruk tersebut Srintil banyak melibatkan tokoh laki-laki. Pada kenyataannya tokoh laki- laki ada yang mendukung atau yang disebut male feminis dan ada pula yang tidak mendukung dan disebut kontra male feminis. Namun, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa tokoh kontra kontra feminis lebih dominan dibanding dengan laki-laki yang male feminis. Tokoh male feminis inilah yang banyak membantu tokoh perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka dalam bersikap dan tingkah lakunya sangat menghormati dan menghargai perempuan.

Jadi, laki-laki pun bisa menjadi feminis jika tingkah laku mereka menunjukkan sikap menghargai dan menghormati perempuan. Dan laki-laki bisa menjadi kontra male feminis jika mereka menunjukkan sikap tidak menghargai dan menghormati perempuan. Terlihat jelas bahwa laki-laki dan perempuan perlu berkolaborasi untuk membangun sebuah masyarakat yang bebas dari diskriminasi dan hal ini jelas terlihat dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah Srintil, Rasus, Ki Kertareja, Bajus, Marsusi, Sakarya, Sulam, Dower, Warta, Darsun, dan lain-lain. Deretan nama-nama dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk telah mampu memerankan perannya dengan baik. Hampir semua tokoh yang dimunculkan oleh Ahmad Tohari telah mampu menunjukkan karakteristik pribadi yang unik, sanggup memberikan penginderaan yang jelas dan terasa begitu nyata, lengkap dengan segala pelukisan gambaran, penempatan, dan perwatakannya masing-masing tokoh tersebut.
Berdasarkan hal di atas, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti tokoh male feminis dan kontra male feminis dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari berdasarkan teori male feminis dan kontra male feminis.

April 5, 2011 at 9:24 am Tinggalkan komentar

Kemampuan Guru Dalam Mengintegrasikan Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup (PKLH) Dengan Mata Pelajaran Sains Dan Pengetahuan ..(PGEO-4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Penelitian

Pemeliharaan lingkungan hidup akan membawa dampak positif untuk tetap lestarinya lingkungan itu sendiri. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, ketika kita berjalan di sekitar halaman rumah, di sepanjang jalan bahkan di sekeliling gedung-gedung pemerintahan, maupun di lembaga-lembaga pendidikan, dengan sangat mudah didapati sampah-sampah yang berserakan di sana-sini dan sudah menjadi pemandangan keseharian. Belum lagi krisis air yang sering terjadi melanda negeri ini, saat musim kemarau sulit untuk mendapatkan air dan bila musim penghujan tiba, maka dapat dipastikan terjadi banjir (Kompas Mahasiswa 2002:15).

Hutan banyak dibabat untuk kepentingan sesaat tanpa mempedulikan upaya penghijauannya (Warnadi., Sunarto, dan Muchlidawati
1997:35). Tanah dan air banyak tercemar oleh limbah-limbah industri dan limbah domestik yang berasal dari rumah hunian, belum lagi udara yang tercemar akibat asap kendaraan bermotor dan asap pabrik (Warnadi., Sunarto, dan Muchlidawati
1997:36-39). Jika keadaan seperti itu dibiarkan terus-menerus, maka dapat dipastikan cepat ataupun lambat lingkungan hidup akan semakin parah kerusakannya.

Pemerintah sebenarnya sudah sejak lama melakukan upaya dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup, salah satu diantaranya adalah melalui Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) yang mulai dirintis sejak tahun
1975 (Anonim a 2002:1). Seperti diungkapkan oleh Alkarhami (dalam http://www.pdk.go.id/balitbang/publikasi/jurnal/no_26/program_pklh_suud_kari m.htm.), bahwa pengenalan program PKLH telah diimplementasikan sejak kurikulum 1984, namun kenyataan sehari-hari menunjukkan hampir semua lulusan sekolah belum menampilkan kinerja ramah lingkungan. Buktinya masih banyak menemui lulusan sekolah yang membuang sampah di jalanan, merokok di kendaraan umum, berludah dan membuang hajat tidak pada tempatnya, dan kegiatan merusak lingkungan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan program PKLH di sekolah belum optimal, untuk itu perlu dilakukan pembenahan pada tubuh PKLH jalur sekolah.
Pertemuan regional Sekolah Model Berwawasan Lingkungan tahun 2001 dilaksanakan di Makasar, Denpasar, dan Batam. Utusan Jawa Tengah mengikuti pertemuan regional di Denpasar, Bali yang berlangsung dari tanggal 12 Juli sampai dengan 13 Juli 2001. Wakil dari Jawa Tengah adalah: SD Negeri Singosari
03-04 Semarang yang sekarang menjadi SD Negeri Pleburan IV-V Kota Semarang, SMP 4 Semarang, dan SMA 1 Semarang (Anonim b 2001:1), namun dari laporan pelaksanaan implementasi pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH) didapat adanya ketidakpedulian warga sekolah terhadap masalah lingkungan hidup (Syafrudie 2002:19).

Hanya 10,01% guru yang pernah mempunyai pengalaman dalam mengintegrasikan materi pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup/isu lingkungan pada proses belajar mengajar dan 89,99% guru belum pernah mempunyai pengalaman dalam mengintegrasikan materi Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) pada proses belajar mengajar
(Anonim a 2002:1).

Program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) di sekolah akan berhasil tergantung pada keinginan guru untuk melakukan perubahan mendasar pada keyakinan tentang hakikat belajar-mengajar, strategi pengajaran, dan penyediaan pengalaman belajar pada peserta didik (Alkarhami http: //www.pdk.go.id/balitbang/publikasi/jurnal/no_26/program_pklh_suud_ karim.htm.).
Di sekolah dasar guru masih merupakan ujung tombak pelaksanaan proses pembelajaran dan masih merupakan tokoh yang “sentral” karena siswa banyak meneladani tingkah laku gurunya. Namun, kenyataan yang ada di lapangan, guru kurang berkomunikasi dalam menyampaikan pesan pembelajaran lingkungan hidup sehingga masih terjadi banyak hambatan yang dialami siswa.

Jalur pendidikan sebenarnya merupakan salah satu wahana yang efektif dalam sosialisasi dan internalisasi pelestarian lingkungan hidup, khususnya pada tingkat pendidikan dasar. Materi pendidikan lingkungan hidup yang dirancang dengan baik, diajarkan kepada siswa dengan benar, dan dipraktekkan dalam tata kehidupan sekolah akan memberikan dampak positif bagi pelestarian lingkungan hidup dikemudian hari. Melalui pendidikan lingkungan hidup di tingkat pendidikan dasar, siswa dan warga sekolah lebih dini dapat memahami pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, sehingga kelak mereka tidak melakukan kesalahan yang sama sebagaimana telah terjadi dengan lingkungan
hidup kita dalam beberapa dekade belakangan ini (Tim Pendidikan Lingkungan
Hidup 2000:viii).

Perhatian dunia terhadap lingkungan hidup sebenarnya telah diawali sejak konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia pada bulan Juni
1972. Konferensi ini mencanangkan Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan (PBBL) dengan menghasilkan suatu keputusan untuk tetap meneruskan kegiatan pembangunan ekonomi, namun pada saat yang sama menjamin Lingkungan Hidup maupun Sumber Daya Alam akan tetap layak untuk diwariskan pada generasi mendatang.

Upaya menjaga kelestarian Lingkungan Hidup tersebut direspon oleh Indonesia melalui Program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) yang sudah mulai dirintis sejak tahun 1975 berdasarkan SK Mendikbud No. 068/U/1974 dan secara sentral dilaksanakan oleh proyek PKLH Ditjen Dikdasmen (Anonim e 2002:3). Tahun 1976 dinamakan “Proyek Nasional Program Kependudukan” bekerjasama dengan BKKBN. Program Diklat Kependudukan mulai dilaksanakan di sekolah pada tahun 1978.

Sejak tahun 1987/1988 mulai dirasakan bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup, sehingga dimasukkanlah materi lingkungan hidup, dan berubah nama menjadi “Proyek Kependudukan dan Lingkungan Hidup”. Adapun pelaksanaan program PKLH mulai terealisir sejak tahun
1992/1993 (Anonim a 2002:1).

Pelaksanaan PKLH ini diperkuat dengan memorandum bersama antara

Depdiknas dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996
dan Kep. 89/MenLH/5/1996 tentang pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup.

Rahardjo (2004:45), mengungkapkan bahwa DEPDIKNAS telah lama melaksanakan program PKLH di sekolah dasar yang disesuaikan ke dalam lima bidang studi yaitu IPS, IPA, Bahasa Indonesia, agama, dan orkes.
Siswa sekolah dasar secara formal telah mengenal konsep-konsep PKLH, dengan demikian Susilowati (2003:9), menekankan bahwa untuk menjamin keberhasilan pendidikan lingkungan di sekolah dasar, maka pengetahuan guru- guru sekolah dasar tentang lingkungan harus memadai.

Di sisi lain para guru masih kurang memiliki wawasan tentang kependudukan dan lingkungan hidup, akibatnya pengintegrasian pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam materi pelajaran masih kurang (Anonim c 2002:2). Menurut Siskandar (2002:5), pendidikan di sekolah sangat strategis sebagai tempat untuk merencanakan dan melaksanakan pendidikan yang diberi muatan nilai-nilai, pengetahuan, dan pembiasaan perilaku positif dalam rangka memberikan kesadaran tentang pentingnya sikap dan perilaku untuk melestarikan lingkungannya.

Dari latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di kelas 4, 5, dan 6 dengan mempertimbangkan aspek perkembangan kognitif siswa menurut William Stern dan Clam Stern (dalam Ahmadi dan Munawar Soleh 2005:91), bahwa anak usia 9 – 10 tahun (kelas tinggi) telah dapat mengamati relasi/hubungan kausal dari benda-benda dan peristiwa-peristiwa dan mulai memperhatkan ciri-ciri dan sifat-sifat dari benda sebagai objek
pengamatannya. Berdasarkan pertimbangan di atas maka peneliti mengadakan penelitian dengan judul “Kemampuan Guru dalam Mengintegrasikan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) dengan Mata Pelajaran Sains dan Pengetahuan Sosial di SD Negeri Se-Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang Tahun 2006/2007).

April 5, 2011 at 9:19 am Tinggalkan komentar

Minat Mahasiswa Sendratasik Program Studi Seni Musik Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Semarang Terhadap Musik Kontemp (PS-1)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan merupakan hasil cipta dan karsa manusia adalah suatu kekayaan yang sampai saat ini masih kita miliki dan patut kita pelihara. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat lain. Beragamnya kebudayaan inilah yang menjadi bukti bahwa bangsa kita kaya akan budaya.

Menurut Ralph Linton (dalam Ihromi, 2000:18), kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarkat manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Meskipun banyak perbedaan diantara kebudayaan-kebudayaan manusia, namun isi dari kebudayaan yang berbeda itu dapat digolongkan ke dalam sejumlah kategori yang sama. Menurut Koentjoroningrat (dalam Ihromi, 2000:xx) kebudayaan terdiri dari tujuh kategori yaitu sistem peralatan hidup, norma, sistem kemasyarakatan, bahasa religi, dan kesenian.

Dari uraian di atas menunjukan bahwa kesenian
merupakan salah satu dari tujuh kategori kebudayaan. Ini
berarti kesenian adalah salah satu kebudayaan manusia yang sampai sekarang masih bertahan. Adapun kesenian itu sendiri mencakup seni pahat, seni lukis, seni tari, dan seni musik. Dari kelima seni tersebut yang akan dibahas dalam masalah ini adalah seni musik.

Seni musik merupakan salah satu kekayaan budaya yang selalu berkembang sejalan dengan berjalannya waktu. Oleh Jamalus (1998:1) musik adalah suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik, yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk atau struktur lagu, dan ekspresi sebagai satu kesatuan. Lagu atau komposisi musik tersebut baru merupakan suatu hasil karya seni jika diperdengarkan dengan menggunakan suara (nyanyian) atau dengan alat-alat musik.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menikmati karya musik melalui beberapa cara, di antaranya dengan menonton pertunjukan musik secara langsung di tempat pertunjukan ataupun menikmatinya melalui media audio serta audio visual. Jenis musik yang disajikan oleh beberpa tempat pertunjukan ataupun media itu pun bermacam-macam, sehingga kita bisa leluasa memilih jenis musik yang sesuai dengan selera kita, misalnya musik klasik, pop, rock, jazz,
blues, disco, dangdut, keroncong, campursari, dan yang lainnya termasuk musik kontemporer.

Beragam jenisnya musik yang disajikan oleh berbagai media pertunjukan tersebut menunjukan bahwa selera atau minat masyarakat terhadap jenis musik beragam pula. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti lingkungan, status sosial, pendidikan, sarana dan prasarana serta faktor-faktor yang lain. Menurut Walgito (1997:38) minat adalah suatu keadaan dimana seseorang mempunyai perhatian terhadap obyek-obyek disertai dengan keinginan-keinginan untuk mengetahui dan mempelajari maupun membuktikannya lebih lanjut tentang obyek tertentu dengan pengertian adanya kecenderungan untuk berhubungan lebih aktif terhadap obyek tersebut. Demikian halnya dengan peminat musik kontemporer. Peminat musik kontemporer tentunya juga mempunyai alasan atau latar belakang tertentu dalam menyukai musik ini.

Perlu kita akui dan sadari, bahwa hingga saat ini peminat musik kontemporer belumlah begitu banyak seperti halnya peminat musik pop, dangdut, atau jenis musik lain yang sudah populer di kalangan masyarakat umum. Musik kontemporer memang tidak sepopuler seperti jenis-jenis musik tersebut di atas, hanya kalangan tertentu saja yang mempunyai minat untuk menikmatinya, sebagai contohnya adalah para
mahasiswa yang mempelajari musik pada program studi seni musik di berbagai perguruan tinggi, termasuk mahasiswa jurusan Sendratasik (Prodi) program studi Seni Musik (FBS) Fakultas Bahasa dan Seni (UNNES) Universitas Negeri Semarang. Walaupun demikian, bukan berarti semua mahasiswa menyukai musik kontemporer karena masih ada juga sebagian mahasiswa yang tidak berminat pada jenis musik ini, dan cenderung lebih suka memainkan serta menikmati musik jenis lain, misalnya pop, dangdut, rock, hip-hop, R&B, dan lain sebagainya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa musik kontemporer belumlah sepopuler seperti jenis musik lainnya, dan belum tentu semua orang berminat serta bisa menikmatinya. Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti minat mahasiswa Sendratasik Prodi Seni Musik FBS UNNES terhadap musik kontemporer, khususnya pada angkatan
2002/2003.

April 5, 2011 at 9:17 am Tinggalkan komentar

Hubungan Antara Kekuatan Otot Lengan Bahu Dan Daya Ledak Otot Lengan Bahu Dengan Hasil Jumping Service Pada Mahasiswa Putra (POL-7)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Dalam dunia olahraga dikenal berbagai macam cabang olahraga, salah satunya adalah cabang bola voli. Permainan bola voli merupakan salah satu diantara banyak cabang olahraga yang populer di masyarakat. Hal ini terbukti bahwa bola voli banyak dimainkan di sekolah-sekolah, di kantor-kantor maupun di kampung-kampung. Permainan bola voli digemari oleh masyarakat dari berbagai tingkat usia, anak-anak, remaja dan dewasa baik pria maupun wanita ( Suharno HP, 1984 : 6 ).

Para pembina bola voli berpendapat bahwa sumber pemain kebanyakan berasal dari sekolah-sekolah, seperti dikatakan oleh Bonnie Robinson ( 1993 : 7 ) bahwa tempat yang cocok untuk latihan olahraga adalah sekolah, termasuk Perguruan Tinggi.

Pengajaran pendidikan jasmani dan kesehatan olahraga di Sekolah Dasar dan sekolah menengah, hendaknya tidak diartikan secara sempit, ialah hanya sebagai kesempatan bagi siswa untuk mendapatkan kegiatan sebagai penyela kesibukan belajar atau sekedar untuk mengamankan siswa supaya tertib. Pendidikan jasmani adalah proses pendidikan melalui aktifitas jasmani. Tujuan yang ingin dicapai bersifat menyeluruh mencakup domain psykomotor, kognitif dan afektif. Dengan kata lain
melalui aktifitas jasmani, anak diarahkan untuk belajar melalui fisik
sehingga akan terjadi suatu perubahan perilaku tidak saja menyangkut aspek psikomotor, tetapi juga kognitif dan afektif. Sehingga sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal pada pelaksanaannya secara nasional telah menetapkan kurikulum yang disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan disesuaikan dengan lingkungannya ( Rusli Lutan,
2000:4 ).

Permainan bola voli dapat digunakan sebagai sarana untuk mendidik, sebab dengan olahraga bola voli dapat membentuk pribadi yang sportif, jujur, kerjasama, bertanggung jawab. Yang semua itu merupakan nilai-nilai pendidikan yang dapat ditanamkan. Oleh karena itu olahraga permainan bola voli diberikan dalam lingkungan atau sebagai olahraga sekolah, bola voli diberikan sejak anak-anak SD, SLTP, SLTA sampai di tingkat Perguruan Tinggi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Maryanto, dkk. ( 1993:51 ) bahwa olahraga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, salah satunya ialah olahraga permainan bola voli digemari dan menarik bagi anak didik, ternyata juga mengandung nilai-nilai secara langsung dapat membentuk kepribadian anak didik, memberi ketegasan dan kecekatan pada anak didik. Hal tersebut mendorong untuk selalu terus dikembangkan serta ditingkatkannya mutu permainan olahraga bola voli di Indonesia, dan salah satu usaha untuk mengembangkannya adalah mengajarkan permainan olahraga bola voli sedini mungkin. Karena kepada anak-anak akan lebih mudah dan cepat
menyerap teknik dasar bola voli dibandingkan dengan orang dewasa ( PBVSI, 1995 : 55 ).

Dewasa ini olahraga bola voli bukan hanya merupakan olahraga rekreasi, tetapi sudah merupakan olahraga prestasi. Seperti yang dikemukakan oleh Suharno H.P ( 1984:10 ), bahwa bola voli pada abad ke-20 ini tidak hanya merupakan olahraga rekreasi lagi, melainkan telah menjadi olahraga prestasi sehingga menuntut kualitas prestasi setinggi- tingginya. Karena ada tuntutan prestasi yang tinggi dan semakin berkembangnya permainan bola voli maka akan mengalami beberapa perkembangan baik secara teknik maupun taktik. Selain itu juga perlu dicari cara latihan yang efektif dan efisien, terutama untuk memilih dan menyusun metode latihan yang baik, terutama untuk penguasaan teknik dasar yang sempurna sehingga prestasi yang diharapkan dapat tercapai ( M. Yunus, 1992, 5 ).

Dalam permainan bola voli dikenal berbagai teknik dasar, dan untuk dapat bermain bola voli harus betul-betul dikuasai dahulu teknik- teknik dasar ini. Salah satu teknik dasar adalah service, dimana service merupakan permulaan untuk dimulainya suatu pertandingan. Service adalah pukulan bola yang dilakukan dari daerah dibelakang garis lapangan melampaui net ke daerah lawan. Pukulan service dilakukan pada permulaan dan setelah terjadinya suatu kesalahan. Pukulan service dapat berupa serangan bila bola dipukul dengan keras dan terarah ( Sunardi,
1993 : 114 ). Service harus dilakukan dengan baik dan sempurna dan oleh semua pemain, karena kesalahan service mengakibatkan pertambahan angka bagi lawan dan uniknya lagi setiap pemain akan melakukan service ini. Demikian pentingnya kedudukan service dalam permianan bola voli, maka teknik dasar service harus dikuasai dengan baik, sebaiknya latihan dasar service mendapat porsi yang cukup. Service dilakukan dari daerah service di belakang lapangan, dengan panjang tak terbatas. Mula-mula service hanya berperan sebagai pelayanan saja untuk memulai pertandingan, tetapi dewasa ini service bisa merupakan serangan awal untuk mendapat nilai agar suatu regu memperoleh kemenangan ( M. Yunus, 1992 : 69 ). Oleh karena itu service harus dilakukan dengan keras dan terarah dengan tujuan agar tidak bisa diterima oleh lawan yang berarti pihak pemegang service mendapatkan angka.

Service sendiri juga ada bermacam-macam, dan masing-masing memiliki nama dan sifat serta teknik sendiri-sendiri. Menurut M Yunus, ( 1992 : 69-71 ), bertolak dari pentingnya kedudukan service diciptakan bermacam-macam teknik dan variasi service. ialah : 1) Service tangan bawah ( underhand service ), terutama diajarkan untuk pemula. 2) Floating Service ( Servis Mengapung), terdiri atas Floating Overhand Service dan Overhand Change Up Service ( Slider Floating Overhand ).
3) Overhand Round-Hause Sservice ( Hook Service ), dan 4) Jumping

Service.

Penguasaan tehnik dasar secara sempurna dapat di capai dengan melakukan latihan-latihan kontinyu dan menggunakan metode latihan yang
baik. Penguasaan teknik dasar sebagai salah satu penunjang keberhasilan permainan bola voli sangat di pengaruhi oleh unsur lain yaitu unsur kondisi fisik. Komponen fisik yang diperlukan dalam service terutama dalam jumping service dalam permainan bola voli adalah kekuatan, kecepatan, daya tahan, keseimbangan dan koordinasi. (Agus Margono
1993 : 174 ) Komponen-komponen fisik tersebut masing-masing memiliki peranan yang berbeda, sesuai karakteristik yang dimiliki. Komponen fisik yang dirasa sangat penting berkaitan dengan jumping service dalam permainan bola voli antara lain adalah unsur kekuatan otot lengan bahu dan daya ledak otot lengan bahu. Hal ini didasarkan pada teori bahwa service yang baik ialah keras dan terarah. Service yang keras dan terarah adalah spesifikasi jumping service, dan pelaksanaannya dibutuhan lompatan yang tinggi agar pemain leluasa dalam mengarahkan bola dan pukulan yang lepas dan keras. Untuk pukulan yang keras ini dubutuhkan daya ledak otot lengan bahu dan kekuatan otot lengan bahu. ( M.Maryanto,
1993 : 114-115 )

April 5, 2011 at 9:13 am Tinggalkan komentar

Hubungan Antara Daya Ledak Otot Tungkai Dan Panjang Lengan Dengan Hasil Jumping Service Pada Mahasiswa Putera Unit Kegiatan Mhs Bola Voli (POL-6)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul
Pendidikan jasmani merupakan pendidikan yang mengacu pada keseimbangan gerak, penanaman sikap, watak, emosi, dan intelektual dalam setiap pengajarannya. Pendidikan jasmani dilaksanakan guna meningkatkan kualitas manusia Indonesia sehingga memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang tinggi, serta dimulai sejak usia dini melalui pendidikan olahraga di sekolah dan masyarakat. Segala usaha yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut harus mampu diterapkan dalam setiap pengajaran pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan melalui aktivitas jasmani. Tujuan yang ingin dicapai bersifat menyeluruh mencakup aspek fisik, intelektual, sosial dan moral ( Maryanto dkk. 1993 : 51
).

Tujuan pendidikan dapat dicapai salah satunya dengan mengajarkan pendidikan jasmani atau olahraga di sekolah mencakup berbagai macam cabang olahraga seperti atletik, permainan, olahraga air dan olahraga bela diri. Olahraga permainan yang dilakukan dalam proses pendidikan salah satunya adalah olahraga bola voli.

Permainan bola voli sendiri mengalami perkembangan yang pesat, ini terbukti dengan adanya klub-klub bola voli yang ada sekarang ini. Hal tersebut didukung olah perkembangan bola voli di sekolah-sekolah, baik di tingkat SLTP maupun SLTA yang menempatkan
bola voli sebagai salah-satu cabang olahraga permainan yang masuk dalam kurikulum pendidikan sebagai olah raga yang wajib diajarkan baik lewat pendidikan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler dan terprogram dalam Garis–garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Keberadaannya secara tidak langsung ikut serta dalam upaya mewujudkan pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia yang berkualitas baik fisik maupun mental.( Depdiknas , 1998 : 1 ).

Sebagai salah satu lembaga pendidikan Universitas Negeri Semarang (UNNES) sekjak masih berstatus sebagai IKIP Negeri Semarang, mempunyai Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) juga bertanggung jawab untuk mengembangkan olahraga dan memiliki kurikulum berbagai cabang olahraga salah satunya ialah cabang olahraga bola voli. FIK adalah fakultas olahraga memiliki beberapa jurusan. Salah satunya ialah jurusan Kepelatihan Olahraga yang salah satu tujuannya mencetak para pelatih olahraga, dan oleh sebab itu setiap mahasiswa diharapkan melakukan kegiatan melatih ketrampilan sendiri dengan bergabung pada unit-unit kegiatan mahasiswa yang lazim disebut Unit Kegiatan Mahasiswa ( UKM ) yang salah satunya adalah Unit Kegiatan Mahasiswa Bola Voli.

Permainan bola voli merupakan salah satu cabang olahraga permainan besar yang dimainkan oleh dua regu dan masing-masing regu terdiri dari 6 orang. Permainan ini adalah kontak tidak langsung, sebab masing-masing regu bermain dalam lapangan sendiri yang dibatasi oleh jaring atau net. Prinsip bermain bola voli adalah memainkan bola dengan
memvoli (memukul dengan tangan) dan berusaha menjatuhkannya kedalam lapangan permainan lawan dengan menyeberangkan bola lewat atas net atau jaring dan mempertahankannya agar bola tidak jatuh dilapangan sendiri. Setiap Regu diperkenankan memainkan atau menyentuh bola tidak lebih dari tiga kali sebelum melewati net selama bola dalam permainan. (M. Yunus,
1992:27). Permainan bola voli merupakan cabang olahraga yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia baik pria maupun wanita, hal ini terbukti bahwa baik dilingkungan sekolah, instasi pemerintah, swasta, maupun perguruan tinggi serta dilingkungan masyarakat. Permainan bola voli ini banyak dimainkan, di berbagai kalangan, hal ini disebabkan selain manfaatnya sangat baik untuk pembentukan individu secara keseluruhan lapangan permainannya juga tidak membutuhkan tempat yang begitu luas sehingga mudah untuk mendapatkannya (M. Yunus, 1992:2). Ternyata bahwa bola voli pada masa sekarang ini bukan hanya sebagai olahraga rekreasi melainkan telah menjadi olahraga prestasi, apalagi bola voli sekarang sudah dikelola secara profesional.

Hal ini terlihat dengan munculnya Livotama ( Liga Bola Voli Utama ) ialah kejuaraan antar klub bola voli yang dilakukan rutin setiap tahun, dimana setiap klub sudah mendatangkan pemain asing yang secara kualitas memang lebih baik daripada pemian lokal. Mau tidak mau kedatangan pemain asing ini merupakan saingan dan tantangan bagi pemain lokal untuk bermain lebih baik, maka tidak heran apabila dalam permainan bola voli para pemain dituntut prestasi setinggi-tingginya.

Adanya tuntutan prestasi yang tinggi, maka perlu dilakukan latihan yang lebih efektif dan efisien, terutama sekali dalam metode latihan, sehingga penguasaan teknik dasar dapat dikuasai dengan sempurna. Penguasaan teknik dasar merupakan suatu yang perlu dikembangkan untuk prestasi permainan. Teknik dasar bola voli harus betul-betul dipelajari terlebih dahulu, guna dikembangkan mutu prestasi bola voli sebab menang atau kalahnya suatu regu di dalam suatu pertandingan salah satunya ditentukan oleh penguasaan teknik dasar permainan bola voli ( Suharno HP,
1984 : 11 ).

Salah satu modal dasar untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam suatu cabang olahraga adalah memiliki bibit yang berbakat sesuai dengan tuntunan dan spesifikasi masing-masing cabang olahraga. M Yunus (1992:68) Untuk dapat berprestasi dalam cabang olahraga bola voli mutlak harus dimulai sejak umur muda, dalam hal ini bibit yang dimaksud adalah anak yang masih muda berumur sekitar 9 sampai 13 tahun dan mempunyai potensi (bakat) yang tunggi untuk dikembangkan menjadi pemain yang baik (M Yunus, 1992 : 68 ).

Teknik-teknik dasar permainan bola voli, menurut M. Yunus (1992:130-132) terbagi dalam lima macam teknik dasar yaitu : 1) servis, meliputi servis tangan bawah, servis dari tangan samping, dan servis dari atas;
2) passing, meliputi pass bawah, pass atas; 3) umpan; 4) smah meliputi smash normal, smash semi, smash pull, smash pull (quick), smash pull straigh, smash push; dan 5) bendungan (block). Dalam bola voli dikenal adanya bermacam- macam service, dan masing-masing memiliki nama dan sifat serta teknik
sendiri-sendiri. Pada dasarnya ada dua macam pukulan service yaitu : 1) Pukulan dari bawah yang juga sering disebut service bawah. Jenis pukulan ini bagi pemain pemula merupakan pukulan yang sederhana dan cocok. ( Sunardi,
1993 : 115 ). 2) Pukulan dari atas kepala atau yang disebut service atas. Pukulan service atas ada tiga variasi yang pokok ialah : Floating Service ( Servis Mengapung), Overhand Round-Hause Sservice ( Hook Service ), dan Jumping Service.

Penguasaan tehnik dasar secara sempurna dapat di capai dengan melakukan latihan-latihan kontinyu dan menggunakan metode latihan yang baik. Penguasaan teknik dasar sebagai salah satu penunjang keberhasilan permainan bola voli sangat di pengaruhi oleh unsur lain yaitu unsur kondisi fisik. Komponen fisik yang diperlukan dalam service terutama dalam jumping service dalam permainan bola voli adalah kekuatan, kecepatan, daya tahan, keseimbangan dan koordinasi. (Agus Margono 1993 : 174 ) Komponen- komponen fisik tersebut masing-masing memiliki peranan yang berbeda, sesuai karakteristik yang dimiliki. Komponen fisik yang dirasa sangat penting berkaitan dengan kekuatan jumping seperti jumping service dalam permainan bola voli adalah unsur daya ledak otot lengan bahu dan daya ledak otot tunghkai. Hal ini didasarkan pada teori dasar bahwa untuk jumping service dibutuhkan kekuatan otot lengan yang prima agar bola dapat berlari dengan cepat serta daya lompat yang tinggi agar pemain mudah mengarahkan bola. ( Soedarminto 1992: 60-61)

Salah satu teknik dasar yang sangat penting dalam permainan bola voli adalah servis, sebab dalam teknik servis yang baik suatu regu dapat dengan mudah memperoleh point. Servis merupakan salah satu teknik dasar permainan Bola voli. Pada mulanya servis hanya merupakan pukulan awal untuk dimulainya suatu permainan awal untuk diperoleh nilai agar suatu regu berhasil meraih kemenangan (M. Yunus,1992:69). Teknik servis dalam permainan bola voli merupakan persyaratan tertentu sebagai modal dalam setiap melakukan servis diantaranya memiliki kondisi fisik yang baik berupa:

1) Kekuatan (strenght), 2) Kecepatan (Speed), 3) Kelincahan dan koordinasi (agility and coordination), 4) Tenaga (power), 5) Daya tahan otot (musculer undurance), 6) Daya kerja jantung dan paru-paru (cardio respiratory function), 7) Kelentukan (flexibility), 8) Keseimbangan (balance),
9) Ketepatan (accurisy), dan 10) Kesehatan untuk olahraga (Healt for sport) (Sajoto,M,1988:4). Sebab untuk dapat melakukan servis yang diharapkan perlu ketrampilan khusus disamping kemampuan untuk melakukan servis secara berulang sepanjang permainan yang baik. Misalnya kecepatan gerak lengan ketika bola dipukul, kekuatan otot lengan untuk memberi tenaga, ayunan lengan agar bola mampu melaju cepat dan keras serta antropometrik yang memungkinkan lengan dapat menguntungkan bola dipukul.

Dalam usaha pemain untuk mencapai prestasi maksimal bermain bola voli, persiapan pemain bukan hanya ditekankan kepada penguasaan teknik dan taktik saja, tetapi kondisi fisik yang sempurna berkat latihan, merupakan syarat penting bagi pemain bola voli. Kondisi fisik pemain perlu
penjagaan dan peningkatan secara kontinyu untuk menghadapi latihan dan pertandingan. Diharapkan pemain selalu dalam kondisi sempurna dalam menghadapi pertandingan agar tidak mengurangi prestasi individu dan regu. Apabila seorang pemain atau lebih memiliki kondisi fisik jelek pada saat pertandingan, akan menimbulkan prestasi regu tersebut dalam menurun secara keseluruhan.

Dalam penelitian ini faktor kondisi fisik yang akan dikaji adalah daya ledak otot tungkai dan panjang lengan. Daya ledak otot tungkai dan panjang lengan merupakan faktor penting dalam melakukan servis atas terutama jumping service.
Daya ledak, merupakan unsur kecepatan maksimal dan kekuatan maksimal dan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dan diperlukan dalam berbagai cabang olahraga, daya ledak otot tungkai merupakan salah satu komponen kondisi fisik yang sangat penting dan diperlukan bagi keberhasilan melakukan pukulan servis jumping. Daya ledak (power) ialah kemampuan sebuah otot atau sekelompok otot untuk mengatasi tahanan beban dengan kekuatan dan kecepatan tinggi dalam suatu gerakan yang utuh (Suharno HP, 1984:11). Komponen daya ledak dapat terbentuk secara optimal jika unsur-unsur seperti kecepatan dan kekuatan ditumbuhkembangkan dengan baik.

Upaya peningkatan daya ledak dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kontraksi otot, kecepatan gerak dalam mengatasi hambatan, koordinasi kekuatan berbagai macam otot dan panjang pengungkit (Guyton, A.C. 1991:72). Daya ledak otot tungkai merupakan
faktor pendukung dalam melakukan servis jumping, dengan daya ledak otot tungkai yang optimal akan menghasilkan servis jumping dengan baik sehingga sulit diterima oleh lawan. Sementara panjang lengan merupakan faktor pendukung untuk melakukan servis jumping dengan baik. Panjang lengan merupakan tuas yang panjang dipengaruhi dengan kecepatan gerakan dan kecepatan itu yang sebanding dengan radius, yaitu panjang lengan seseorang.

Pada kenyataannya tingkat kondisi fisik dan anatomis seseorang berbeda. Sedangkan untuk diperoleh bibit pemain bola voli yang baik perlu diketahui seberapa besar faktor tersebut diatas ikut berpengaruh terhadap hasil permainan bola voli terutama dalam pelaksanaan servis jumping. Dengan pertimbangan seperti tersebut di muka maka peneliti akan mengadakan penelitian dengan judul : ” Hubungan antara Daya Ledak Otot Tungkai dan Panjang Lengan Dengan Hasil Jumping Service Pada Mahasiswa Putra Unit Kegiatan Mahasiswa Bola Voli Univwersitas Negeri Semarang Tahun 2006..”

April 5, 2011 at 9:10 am Tinggalkan komentar

Lara Cameron’s Motivation In Achieving Power And Wealth In Sidney Sheldon’s The Stars Shine Down (PBING-17)

CHAPTER I
INTRODUCTION

1.1 Background of the Study

Nowadays, some people tend to read literature more than to scientific or religious books since they consider that literature will lead human to a better social or personal conduct. Moreover, literary book presents expression of feelings, while scientific or religious books are the most exact kind of reporting. In a very real sense, some people who have read good literature have lived more comfortable than people who cannot or will not read.

Rees (1973: 1-2) defines literature in a broad and a narrow sense. The former means anything that is written such as catalogues, textbooks, brochures, and so on. While the latter means writing that expresses and communicates thoughts, feelings, ideas, and attitudes towards life in serious, fuller and deeper sense of words such as novel, poetry, prose, fiction, essay, and autobiography.
Actually, literature has primary aim is giving pleasure, to entertain those who concern to it. Darma (1984: 55) says that literature is really an expression to explore the life problems, philosophy, and psychology. In other words, the author of literary work is usually considered as an expert in psychology, and philosophy who concern about life problems.

In psychological point of view, there is a relation between psychology and
literature that we called psychoanalysis. Felman, as quoted in Green and LeeBihan
(1996: 143), explains that we normally tend to see psychoanalysis as the active practice performed upon the passive text:
While literature is considered as a body of a language-to be interpreted- psychoanalysis is considered as a body of knowledge, whose competence is called upon interpret. Psychoanalysis, in other words, occupies the place of a subject, literature that of an object. (Felman, 1982: 5)

The main subject of psychoanalysis is the term “unconsciousness”. Psychoanalytic treatment demonstrates how these unconscious factors affect current relationship and patterns of behavior. Ernest R. Hilgrad (1962: 125) states that psychologist have made a distinction between the things we learn, our habits, and the things which make us to use these habits, that is our motives
The subjects of motivation can be found in the literary work. We can find how motivation is described individually or socially and how an individual reacts to his/her motives. However, some people may not recognize that they need certain motivation to reach goal related to power and wealth. Since they probably think that motivation only a piece of science which does not influence in one’s success.

Moreover, motivation appears from the person himself and it does not depend on the environment, so he needs encouragements to build his internal drive to be motivated. Floyd L. Ruch mentioned there are two effects of motivation on behavior. They are:
1. Motives determine the direction of behavior and their change within individual to its environment.
2. Motives make energy available for the activity required.

Because of the varieties of motivate existing in individual the terms of motivation in literary works are significant to be explored principally women’s motivation.
As we know God creates human men and women. They are born to this world with several differentiations in physique, thinking, and characteristic. Commonly men are always identified with his strength and women with her weakness. A lot of opinions on stereotypes say that women are weaker, more emotional, less able to learn and dependent through men who have everything to judge themselves as superior.
Obviously, women have been treated unfairly although that is only public opinion. Based on those differentiations women are motivated to surpass men’s authority. They tend to show that women can do anything better that men. Actually, it is not easy for women to be highly-motivated in the society because they are still norms, principles, and traditions that limit their activities. Now, women’s motivation has moved through the recognition of significant purposes. They are determined to get particular achievement, fulfill their inner drive, or reach higher status in society.

The Stars Shine Down written by Sidney Sheldon talks about a woman who was motivated to achieve power and wealth. The main character, Lara Cameron, had to struggle to change her life. She did hard work in many ways to change her life. Here, in this study, I intend to show Lara Cameron’s motivation in achieving power and wealth. I will discuss the problem in the next chapter.

April 5, 2011 at 9:06 am Tinggalkan komentar

Common Strategic Competence Employed By Senior High School Debaters (PBING-16)

CHAPTER I INTRODUCTION

1.1 Background of the Study

English debate is nowadays widely known among senior high school students especially in Semarang. This activity has been something popular for its image among both students and English teachers. They think of this activity as something outstanding. This thought may appear due to the fact that not many students of senior high school are able to do so. Only those who are at least capable in producing oral communication in English will be chosen as debater. Referring to this assumption, it is no wonder that the number of English debaters is not of great significance compared with the whole number of students in general.

The effort of facilitating this great potential has been done. It is proven that many competitions among high schools and vocational schools have been conducted recently. In fact, this effort gains so much attention and respect from several parties. They are students as the agent, teachers as the supporters, and frequently may collaborate with the government as the facilitator through Department of Education to present debate competitions. The question that may arise upon this notion is how it gains such great attention.

On the one hand, if we see this fact from the perspective of students’
cognitive aspect, we come into the answer that debate itself will stimulate the
students to have good understanding of what happens around them. It deals with how they cope with the current issues and how they position themselves as humans who have great faith in their own thought or idea upon the issues. This thought is not merely for the sake of their own, it is to be believed by others. In short, we can say that debate can be used as a tool to prepare students to cope with social life.

On the other hand, if we see this fact from the perspective of linguistic knowledge, debate can be used as a tool to train students to use the language practically. In relation to English language learning, it is actually the implementation of language in use; that is oral communication.

Those two elements mentioned above, as the answer of the question arises, carry a comprehensive concept. This concept constitutes the reason why debate necessarily affects one’s mindset and the need of debaters to convince the adjudicators that somehow their case is logical, reliable, convincing, and therefore undefeatable. To reach this point, a debater should have the competence that will ease them in carrying his massage through speech so that it becomes comprehensible and convincing to the adjudicators as the decision makers of the winning. Since it deals with the massage being conveyed and the language being employed, one way to overcome this is to have what so called communicative competence. As stated by Hymes (1972), communicative competence is the knowledge which enables someone to use a language effectively for real
communication which involves two or more speakers. These speakers interact
each other in the form of oral communication and stimulate each other to respond what each says.
Briefly, communicative competence is really needed in anytime and anywhere to present nearly perfect performance. Debate, in this case, is one of the examples where a speaker is supposed to be able to convey massages or cases comprehensively and to respond what other speakers say. This fact is exactly the main idea of what a debate is intended to be.

The component of communicative competence that relates to the way each speaker maintains and sustains his communication is what we call strategic competence or communicative strategy. This competence is deemed to be the last but practical choice if the speakers are lacking of linguistic competence. When they are in this very situation, communication breakdown is so much possible to occur.
Problem in oral communication, especially for those learning a foreign language, may coincide with the insufficient knowledge in that language. In relation to this, Willing once declared that communication to some degree is problematic since people communicating may fail to discover that they do not understand each other fully due to lack of common vocabulary or common background, or perhaps due to different attitudes (1992: 1). A debater may say “a…a… what is it?” during his speech when he forgets some massage or some lexical items to be delivered.

If breakdown occurs in debate and the debaters fails to compensate it, their
performance will be less convincing and finally it will influence the adjudicator’s
judgment about which team deserves the winning. Therefore, having good strategic competence is deemed to be crucial for them as merely debaters and as students basically whose background is academic institution.

From this long elaboration, we have seen the pedagogical idea implied in a debate that somehow becomes the major point of our discussion. Since I am engaged in a society dealing with debate namely English Debate Society (EDS) and engaged in educational program, it becomes a great importance for me to analyze some strategies employed by debaters during their speeches.
Being a judge, or usually called as adjudicator, in several English debate competitions also drives my curiosity upon how debaters maintain their speeches to give more assurance on their cases.

April 5, 2011 at 9:04 am Tinggalkan komentar

Older Posts


Kalender

April 2011
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930  

Posts by Month

Posts by Category